Skip to content

On Imaginary Journeys

by on February 18, 2012

Paul Theroux mengelompokkan ‘perjalanan khayalan’ (imaginary journey) sebagai sebuah langgam pengembaraan. Mereka adalah para penulis yang menceritakan oleh-oleh pengembaraannya ke alam liyan. Sebagian kisah didasari oleh pengalaman perjalanan pribadi sang penulis. Seperti ruang perpustakaan di University of Toronto yang dijadikan inspirasi The Name of the Rose, Umberto Eco. Sebagian kisah yang lain didasari sepenuhnya dari kemampuan reka-khayali sang penulis. Seperti nasib Karl May yang baru menginjak, melihat dan mencium tanah Indian setelah Winnetou rampung.

Apapun bentuknya, langgam pengembaraan tersebut terus menekan manusia untuk melampaui batas-batasnya. Semenjak Thomas More menulis Utopia di abad ke-16, manusia punya satu kata yang dipakai untuk mengacu pada sebuah perwujudan ‘surga sekular’ yang tak ditemukan di dunia. Foucault kemudian menawarkan heterotopia sebagai sebuah alternatif. Sebuah panggilan untuk membebaskan diri, pikir, dan ruang dari kungkungan otoritas dan represi.

Imajinasi menjadi prisma ‘penglihatan’ kita saat sedang berada di tanah yang asing. Apa yang kita khayalkan mempengaruhi apa yang kita lihat. Kisah-kisah perjalanan khayalan membantu menambah entri kamus tekstual dan visual di dalam otak kita. Perjalanan fisik memindahkan kita secara spasial dari satu teritori ke teritori lainnya. Meskipun demikian, kecenderungan untuk melihat, memperhatikan, dan merenungkan informasi yang masuk lewat penginderaan adalah sintesis dari paradigma. Seperti sebuah peta yang membantu kita membayangkan perjalanan yang sedang kita alami. Seperti pengalaman terdistorsi setelah menonton film Studio Ghibli.

Perjalanan khayalan adalah sebuah kisah yang mampu menggambarkan ruang yang lain daripada yang lain. Ternyata, mungkin ada sesuatu di luar sana.


Dhobi Ghat, Mumbai (2012); picture by Nareswari Anindita

***

From → Uncategorized

Leave a Comment

Leave a comment