Skip to content

Dari Ramayana Sampai Johannesburg

by on March 8, 2012

Migrasi Out of Africa adalah pengembaraan pertama manusia modern. Sebuah perjalanan yang mengubah dunia. Sejak saat itu, sepertinya traveling menurun secara genetis hingga hari ini. Sejak saat itu, manusia menghimpun pengetahuan yang diperoleh di sepanjang perjalanannya dalam kisah-kisah yang ditularkan dari generasi ke generasi.

Traveling, pada awalnya, adalah sebuah perjalanan mitologis spiritual. Mistis. Misterius. Religius. Salah satu jurnal perjalanan tertua adalah Ramayana (Rama’s travel), sebuah pengembaraan ruang dalam kerangka perang antara Kebaikan dan Kejahatan. Bagi agama-agama Semitik, Rama dan Sita berperan serupa Adam dan Hawa yang diturunkan dari Taman Eden di tempat yang terpisah. Siddhartha Gautama menuntaskan perjalanannya dan menjadi Buddha. Kisah klasik Journey to the West bercerita tentang penjemputan kitab Buddha di India oleh sang Kera Sakti, Sun Wukong–tokoh yang terinspirasi dari tokoh Hanuman dari Ramayana.

Kisah-kisah tersebut menginspirasi manusia untuk terus melangkah dan menambah pengetahuan dari perjalanannya. Tak cukup puas dengan perjalanan mitologis, para pengembara memilih menjelajahi Bumi lebih luas lagi untuk mencari penjelasan akan kebenaran.

Saat pertukaran informasi masih begitu terbatas, cerita-cerita dari negeri jauh yang dibawa para pengembara adalah oase. Mereka membawa dunia lain. Sebuah dunia yang jauh dari jangkauan dan sebelumnya hanya disampaikan lewat kisah-kisah  mitologis. Para pengembara melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada apa di luar sana. Pada abad ke-10, seorang pengembara Arab bernama Ahmad ibn Fadlan mencatat pengorbanan manusia dalam ritual penguburan perahu Viking. Dua ratus tahunan kemudian, Marco Polo mencatat perjalanannya ke Asia Tengah dan Cina serta memperkenalkannya pada Eropa yang sedang berada dalam Abad Kegelapan.

Pelan tapi pasti, manusia menghubungkan penjelajahan dengan penguasaan. Profit. Penjelajah terjauh dan terluas tidak lagi hanya pulang membawa cerita-cerita dari negeri jauh. Mereka membawa buah tangan yang bisa dijual ke pasar. Traveling terhubung sempurna dengan pasar. Lahirlah imperialisme: Gold, Gospel, Glory. Korporasi-korporasi pelayaran–yang dipandu para pelaut seperti Colombus, Magellan, dan Cortez–menancapkan patok-patoknya di atas terra incognita. Budak-budak kulit hitam melintasi samudera untuk hidup di tanah baru bersama kulit putih.

***

Traveling dan mobilitas sosial

Hari ini, traveling adalah gaya hidup. Berkat teknologi, traveling semakin cepat, mudah, dan terjangkau. Meski dengan motivasi-motivasi yang serupa:perjalanan mitologis, pencarian kebenaran, hingga profit. Seperti ziarah modern yang terfasilitasi biro travel profesional. Seperti para pelajar internasional yang terfasilitasi beasiswa. Seperti sebuah tiket penerbangan murah yang kita nikmati bersama-sama.

Bagi Levi-Strauss, traveling bukan sekedar perpindahan ruang. Traveling bergerak pada lima sumbu; tiga dimensi spasial, waktu, dan hirarki sosial. Bersama-sama dengan pergerakan fisik dan panah waktu, seorang pengembara juga mengalami mobilitas sosial.

Traveling modern berkisah tentang perjalanan sosial sang pengembara. Seorang pekerja seks komersial korban trafficking. Seorang buruh migran yang dicekam ancaman kekerasan. Seorang manusia kota yang bertemu dengan masyarakat tribal. Seorang kekasih yang terpisah dari keluarganya demi ‘masa depan yang lebih baik’. Seorang seniman yang (ingin) go international. Seorang pelaut yang terdampar akibat kapal tanker karam. Seorang penggila K-Pop yang berjuang mengejar beasiswa ke Seoul. Seorang calon dosen yang mengajak keluarga kecilnya berlibur ke Eropa. Siapapun anda, anda berhak berbagi cerita. Siapapun anda, anda berhak menjadi pengembara.

Bagi keluarga saya, bepergian ke luar negeri pernah menjadi sesuatu yang terlarang. Sebab kakek adalah seorang eks tahanan politik. Ayah saya pernah batal memperoleh sebuah beasiswa. Sekarang, saya mencoba menghidupi mimpi-mimpinya yang sudah mati.

Tiga tahun yang lalu, saya menikah dengan seorang ekspatriat Indonesia yang bekerja di Malaysia, dan kami berhenti bekerja tetap. Selama tiga bulan kemudian kami memulai perjalanan dengan Kapal PELNI dari Tanjung Priok menuju Pontianak. Menyusuri Sarawak, Brunei Darussalam, dan Sabah. Melambung ke Manila, Filipina dan sekali lagi melambung ke Hong Kong – Makau. Lalu kehabisan uang. Mampir sebentar di Malaysia. Pulang ke Indonesia dengan perasaan mencandu. Kami melewati 1 tahun kemudian dengan sebuah pameran kecil perjalanan kami di Yogyakarta.

Setelah itu, kami terdampar di Mumbai, kota maksimum. Saya merasa seperti seorang dari Kuala Lumpur yang terkejut dengan padatnya Jakarta. Ternyata, ada yang lebih Jakarta daripada Jakarta. Kami hidup layaknya kelas menengah Mumbai, tinggal berdesakan di flat dengan ukuran kamar 24 meter persegi. Kami ikut berjuang menerobos pintu masuk kendaraan umum bersama-sama penumpang-penumpang lain yang berebutan.

Hari ini, kami ada di persimpangan. Saya sedang bersiap berkuliah lagi di Johannesburg, Afrika Selatan. Sebuah tempat yang tidak saya kenal. Sebuah benua asing. Perjalanan kami masih terus berlanjut. Roda kehidupan masih terus berputar.

Cerita perjalanan kami mungkin tidak terlalu istimewa dibandingkan para pengembara lain. Kami tak pernah menjelajahi banyak negara. Kami tak pernah hidup di negara asing dalam waktu yang panjang. Tapi, bagi kami, traveling adalah sesuatu yang sangat berarti. Traveling adalah simbol kebebasan kami. Kami ingin merekam cerita-cerita perjalanan kami untuk diceritakan ulang pada anak cucu, bila tak mampu menerbitkan sebuah buku. Kami ingin berbagi sebuah kemungkinan: tanpa peduli latar belakang sosioekonomi, siapapun bisa menjadi warga dunia.

Saat ini yang ada di benak saya: apakah Rama dan Sinta akan bersatu kembali di Johannesburg? Atau tempat lain?

From → India, Mumbai

One Comment
  1. Ivan permalink

    dua kekasih yang mengejar cintanya dengan berpisah sementara.. 😀

Leave a comment