Skip to content

Dear Bombay/Mumbai

by on February 27, 2012

Hello,

It has been almost 1 year I spend my life in you.

My morning ritual: a cup of special-chai. Optional: a plate of of cheese dosa with sambar, no chutney please. Second optional: vada or sandwich. There you go. Soon I become adapted with ‘veg’ breakfast routine. No need to rush the fresh body with meat.

This is a ‘vada-pau eater’ city anyway. Street foods with veg menu may open 24 hours. But not the same way with non-veg menu. Seeing a smoky kebab stall in the early morning is a suicidal mental note. The rhythm of this city manages optimum measurement for citizen diets.

Eat well, live well.

But well, it is a lifestyle imagined by social construction.

And you taught me one important lesson: it is all about ‘supply’ and ‘demand’. More vegetable consumers. Cheaper price. Better quality. Wider range of products. That is the case of ‘vada-pau’ eater city and the vegetarian nation.

This posting is dedicated to you, yeh hai Bombay meri jaan. The city who taught me frugality and the meaning of “public” in a ‘subtle’ way.

***

Kehidupan saya di Mumbai adalah kehidupan frugal, meski tak terlalu ekstrim. Menjadi frugal karena keadaan, bukan pilihan. Saya menganggap ini adalah sebuah latihan menjadi warga sipil yang lebih beradab. Nyaris setahun saya hidup di sebuah tempat tinggal tanpa televisi, mesin cuci, kulkas, apalagi AC. Bepergian hampir seratus persen dengan transportasi publik, kecuali menumpang kendaraan pribadi kolega yang bisa dihitung dengan jari.

Tanpa televisi, untungnya ada internet yang jauh lebih cepat daripada di Indonesia. Tanpa mesin cuci, untungnya masih ada sepasang tangan yang masih cukup kuat. Tanpa kulkas, untungnya saya selalu memasak dan makan makanan segar. Tanpa AC, untungnya ada dua kipas besar di langit-langit yang berjuang keras mengusir hawa panas, dan sebuah kipas duduk yang tak terpakai karena musim dingin Desember hingga Januari menuntut selimut. Tanpa kendaraan pribadi, untungnya ada transportasi publik yang aksesibel, terjangkau, tepat waktu, dan layak.

***

Jakarta punya bajaj, ojek, bus, Trans Jakarta, kereta api, taksi, dan sebuah rencana monorail. Macet luar biasa adalah makanan keseharian—kecuali akhir pekan dan hari-hari tertentu. Manila punya jeepney, tricycle, bus, taksi, dan MRT yang sudah dibangun sejak era Marcos, tahun 1984. Walau memiliki MRT, Manila tak jauh berbeda macetnya dengan Jakarta.

Mumbai punya taksi, rickshaw, bus, kereta api, dan juga sebuah rencana monorail (konon akan selesai tahun 2012 tapi masih tertunda). Tapi, macet hanya terjadi di jam-jam padat saja. Meski orang-orang Mumbai masih mengeluhkan macetnya kota ini, percayalah bahwa Jakarta adalah neraka kemacetan.

Tanpa kemegahan kosmetik modernitas kota dalam bentuk ‘kereta melayang’, Mumbai bisa menyediakan layanan transportasi publik yang lebih baik dengan mengandalkan keandalan sistem meski teknologi terbatas. Tantangannya: tarif transportasi publik yang terjangkau tanpa mengorbankan kenyamanan terlalu banyak.

Seluruh taksi di Mumbai harus bermeter, mulai dari yang analog sampai digital. Meter analog menggunakan sistem harga satuan, 16 rupees (sekitar 3200 rupiah) untuk satu poin pertama. Bila di akhir perjalanan tertera poin meteran ‘2.50’ berarti jumlah yang harus dibayarkan adalah dua setengah kali 16 rupees. Tapi, hanya taksi Fiat tua yang menggunakan meter analog. Taksi-taksi yang lebih baru (dan lebih nyaman) memasang meter digital, dengan angka awal 16 rupees. Sangat murah dibandingkan dengan taksi di Jakarta. Kompensasinya, taksi-taksi tersebut tidak menggunakan AC sama sekali—angin dari jendela terasa sejuk di musim dingin dan surga di musim panas—serta berbahan bakar gas. Pada jam-jam tertentu, taksi kadang tak bisa melayani pelanggan karena antrean panjang pengisian bahan bakar gas yang memakan waktu lebih lama daripada bahan bakar cair.

Taksi-taksi yang saya sebutkan di atas adalah armada bercat kuning-hitam. Bagi yang menghendaki kenyamanan lebih, bisa menaiki armada bercat biru-putih dengan meter awal yang tentunya lebih mahal.

Rickshaw memiliki bentuk serupa bajaj di Jakarta. Sama seperti taksi non-AC, armadanya bercat kuning-hitam dan menggunakan meter, meski sebagian besar analog—dengan nilai 13 rupees untuk tiap poin meteran. Saya jarang menggunakan rickshaw karena tinggal di ‘bagian dalam’ kota Mumbai. Rickshaw hanya boleh beroperasi di ‘bagian luar’ kota Mumbai, daerah suburban.

BEST adalah institusi publik otonom yang mengelola bus—sekaligus listrik—kota Mumbai. Seratus persen milik publik—berkebalikan dengan transportasi publik di New Delhi yang lebih terprivatisasi.

Selain kuning-hitam, saya mengasosiasikan warna merah-putih dengan transportasi publik di Mumbai. Warna tersebut adalah warna baku dari bus non-AC yang biasanya saya naiki.  Baru sebagian kecil bus yang sudah ber-AC. Tiketnya pun berlipatkali lebih mahal daripada bus non-AC yang jumlahnya jauh lebih banyak. Bus hanya berhenti sesaat di halte, pantang menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat (area bus stop adalah area sakral perhentian terlarang bagi taksi dan kendaraan pribadi). Di halte, ada papan petunjuk nomor kode bus, separuh dalam aksara Hindi, separuh lagi dalam aksara Latin. Cuma angka-angka saja tanpa ada peta. Lalu ke mana kita mencari jadwal  dan peta jalur bus? Beruntung, GoogleMap di kota ini bekerja dengan baik. Cukup masukkan titik awal dan tujuan akhir kemudian aplikasi tersebut akan menawarkan beberapa rute bus berikut perkiraan jadwalnya. Setelah bus datang dan kita masuk dari pintu belakang, seorang kondektur akan datang dengan alat ticketing digital. Sebutkan tujuan perjalanan, serahkan selembar uang, dan sang kondektur akan mencetak tiket lalu memberikan kembalian. Tujuh rupees (sekitar 1500 rupiah) untuk perjalanan 3,4 km selama 10 menitan. Sangat terjangkau untuk transportasi harian para pekerja.

Dari GoogleMap pula, kita bisa memperoleh informasi tentang jadwal dan jalur kereta api. Bagi yang ingin berlangganan dan memperoleh kartu magnetik, bisa membeli dan mengisi ulang di stasiun. Kartu magnetik tersebut bisa digunakan pada mesin ticketing elektronik yang berada di dekat loket karcis biasa. Ada dua pilihan kelas tiket: kelas I dan II. Bedanya: kelas I lebih lega, kelas II lebih banyak penumpang. Persamaannya: keduanya menggunakan sistem penghawaan kipas angin dan pintu yang selalu terbuka lebar. Setelah memperoleh tiket dan menunggu di platform yang tepat, kita bisa melihat kode kedatangan kereta yang tertera di papan elektronik. Bagi perempuan yang ingin menaiki gerbong khusus bisa menunggu di area platform dengan tanda perhentian Ladies Couch. Setelah berjejalan masuk gerbong, berdiri atau duduklah dengan tenang. Jalur rel dan jalan raya di Mumbai sudah tidak berpotongan lagi. Berbagai flyover telah dibangun untuk mencegah pertemuan kereta dan kendaraan bermotor.

***

Kota ini memang jauh dari sempurna. Tapi saya bisa belajar menghargai dan menggunakan transportasi publik dengan lebih baik. Ada rasa yang berbeda dari kata “publik”. Sebuah kata yang istimewa sebab di Indonesia kata tersebut terlampau disakralkan atau malah diabaikan. Saya sendiri merasa kering imajinasi bila berhadapan dengan kata tersebut. Sampai saat ini, setidaknya transportasi dan ruang “publik” di Indonesia masih berada di tingkat angan-angan semata.

“Kahin building, Kahin tramen, Kahin motor, Kahin mill, milta hai yahan sub kuch, ek milta nahin dil, insaan ka hai nahin namo-nishan”
(In this city of building and trams, motorcars and mills, everything is available except a heart and humanity)
“Ai dil hai mushkil jena yahan”
(It’s hard to survive here)
“Ai dil hai aasaan jeena yahan, suno Mister, suno Bandhu, yeh hai Bombay meri jaan”
(O gentlemen, O my friends, living here is easy, it’s Bombay, darling)

From → India, Mumbai

One Comment
  1. Sameen Fatima Khan permalink

    Such a lovely translation of MUMbai..i loved it…:)

Leave a comment